Pandemi COVID-19 muncul bersamaan dengan stigma sosial di tengah masyarakat. Namun, hal ini dapat dicegah dan ditangani bersama oleh individu maupun pihak-pihak terkait.
Di tengah wabah COVID-19, muncul satu fenomena sosial yang berpotensi memperparah situasi, yakni stigma sosial atau asosiasi negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang yang mengalami gejala atau menyandang penyakit tertentu. Mereka diberikan label, stereotip, didiskriminasi, diperlakukan berbeda, dan/atau mengalami pelecehan status karena terasosiasi dengan sebuah penyakit.
Sebagai penyakit baru, banyak yang belum diketahui tentang pandemi COVID19. Terlebih manusia cenderung takut pada sesuatu yang belum diketahui dan lebih mudah menghubungkan rasa takut pada “kelompok yang berbeda/lain”. Inilah yang menyebabkan munculnya stigma sosial dan diskriminasi terhadap etnis tertentu dan juga orang yang dianggap mempunyai hubungan dengan virus ini.
Perasaan bingung, cemas, dan takut yang kita rasakan dapat dipahami, tapi bukan berarti kita boleh berprasangka buruk pada penderita, perawat, keluarga, ataupun mereka yang tidak sakit tapi memiliki gejala yang mirip dengan COVID-19. Jika terus terpelihara di masyarakat, stigma sosial dapat membuat orang-orang menyembunyikan sakitnya supaya tidak didiskriminasi, mencegah mereka mencari bantuan kesehatan dengan segera, dan membuat mereka tidak menjalankan perilaku hidup yang sehat.
Daripada menunjukkan stigma sosial, alangkah lebih bijak jika kita berkontribusi secara sosial, yaitu dengan: 1) membangun rasa percaya pada layanan dan saran kesehatan yang bisa diandalkan; 2) menunjukkan empati terhadap mereka yang terdampak; 3) memahami wabah itu sendiri; dan, 4) melakukan upaya yang praktis dan efektif sehingga orang bisa menjaga keselamatan diri dan orang yang mereka cintai.
Pemerintah, warga negara, media, influencer, dan komunitas memiliki peran penting dalam mencegah dan menghentikan stigma di sekitar kita, khususnya yang diasosiasikan dengan orang-orang dari Tiongkok dan Asia pada umumnya. Kita semua harus berhati-hati dan bijaksana ketika berkomunikasi di media sosial dan wadah komunikasi lainnya.
Misalnya, para influencer, pemimpin agama, pejabat publik, selebriti, dan tokoh masyarakat dapat memperkuat pesan yang mengurangi stigma, mengundang khalayak untuk merenung dan berempati pada orang-orang yang terstigma, dan mengumpulkan gagasan untuk mendukung mereka.
Rumah sakit, lembaga penelitian, universitas, dan institusi lainnya dapat meluruskan hoaks dengan fakta-fakta. Stigma sosial bisa terjadi akibat kurangnya pengetahuan tentang COVID-19 (bagaimana penyakit ditularkan dan diobati, dan cara mencegah infeksi). Yang paling penting untuk dilakukan adalah penyebaran informasi yang akurat dan sesuai dengan komunitas tentang daerah yang terkena, kerentanan individu dan kelompok terhadap COVID-19, opsi perawatan, dan di mana masyarakat dapat mengakses perawatan dan informasi kesehatan. Gunakan bahasa sederhana dan hindari istilah klinis.
Para jurnalis hendaknya menerapkan jurnalisme beretika. Pelaporan jurnalistik yang terlalu fokus pada tanggung jawab pasien karena mengidap dan “menyebarkan COVID-19” dapat memperburuk stigma. Sebagai gantinya, media massa bisa mempromosikan konten seputar praktik pencegahan infeksi dasar, gejala COVID-19, dan kapan harus mencari perawatan kesehatan. Hal ini penting untuk meningkatkan kewaspadaan dan bukannya menebar kepanikan yang tidak perlu. Selain itu, untuk meredam kegelisahan sosial, jurnalis juga dapat meliput orang-orang yang telah pulih dari COVID-19 serta para “pahlawan” untuk menghormati tenaga kesehatan dan komunitas relawan yang berperan baik.
Leave a reply
Leave a reply